Telah lama aku berdiri di sini, di antara keramaian dan hiruk pikuk terminal pulo gadung. Namun tak satupun bus antar kota yang mau berhenti dan membawaku meninggalkan kebisingan ini. Hampir satu jam lebih aku di sini, tapi semua bus antar kota nampaknya penuh semua. Aku sudah mulai gelisah dan bosan dengan suasana bising di sekitarku, terbersit dalam anganku untuk menembus keramaian itu lalu mencari tempat mangkal bus antar kota seperti sinar jaya misalnya. Namun belum sempat aku melangkahkan kaki, saat itulah datang seorang bapak yang nampaknya juga hendak menunggu bus antar kota. Sekilas bapak setengah baya itu nampak ramah menegurku dan bertanya kemana tujuanku. Percakapanpun mengalir begitu saja, tak pernah terbesit di otakku menaruh curiga kepada beliau. Beberapa saat kemudian Bapak setengah baya itupun memberikan saran untuk naik minibus dan turun di dekat pangkalan bus sinar jaya.
Tanpa rasa curiga akupun menuruti saran bapak setengah baya itu. Bapak setengah baya itupun nampak sibuk melambai-lambaikan tangan pada beberapa minibus yang lewat. Namun belum jua ada minibus yang berhenti sebagai respon atas lambaian tangannya. Sementara riuh rendah suara bising kendaraan dan teriakan pedagang asongan semakin memekakan gendang telinga. Akhirnya ada juga minibus yang berhenti menghampiri lambaian tangan bapak setengah baya itu. Bapak itu pun mempersilahkan aku untuk melompat ke atas minibus terlebih dahulu. Dengan sigap aku pun segera melompat. Sesaat kemudian aku telah berada di dalam minibus yang di maksud. Tanpa memperhatikan bapak setengah baya itu, aku segera mencari tempat duduk yang berada tepat di dekat jendela kaca, dan ternyata bapak setengah baya itu mengambil tempat duduk tepat di sebelah ku. Padahal masih banyak tempat duduk lainnya yang bisa beliau tempati. Akhirnya pembicaraanpun kembali berlangsung, saling tanya saling jawab, namun aku hanya menjawab seperlunya saja. Entahlah seperti ada rasa risih yang hinggap, yang membuat perasaanku menjadi was-was. Apalagi melihat caranya duduk dan caranya mengajak bicara, seolah ingin selalu dekat. Untungnya aku membawa barang bawaan yang bisa ku jadikan dinding pembatas sehingga beliau tak bisa duduk merapat ke arahku. Mulailah bapak itu mengarang sebuah cerita, cerita yang lumayan menarik namun membosankan bagi diriku.
Beliau mengaku kalau saat ini dirinya sedang menghadapi sebuah masalah menyangkut harta warisan keluarganya yang hanya akan beliau dapatkan apabila beliau telah jelas mempunyai seorang calon istri. Beliau menerangkan detail permasalahan dengn gaya bahasanya yang mungkin mampu melambungkan hayalan seseorang yang mudah terlena dengan iming-iming jutaan rupiah. Tapi maaf, tidak untukku. Aku seperti telah menebak apa ujung dari akhir ceritanya. Benar juga, akhirnya beliau memintaku untuk pura-pura menjadi calon istrinya dengan imbalan dua juta rupiah. Dengan sopan akupun menolak, tapi beliau terus berusaha menerangkan, memohon dan menghiba dengan berbagai kalimat yang intinya memelas, hingga membuatku curiga bahwa cerita itu hanyalah karangannya saja. Namun aku berusaha tuk tetap rileks seolah tidak menaruh rasa curiga terhadapnya. Tak terasa minibus yang kami tumpangi berhenti di sebuah jalan yang sangat besar dan bercabang-cabang, dan bapak setengah baya itu pun segera mengajakku untuk turun sementara dengan sigap tangannya meraih barang titipan temenku yang tadi ku jadikan dinding pemisah tempat duduk antara diriku dengan beliau. Kontan saja akupun segera turun mengikutinya, karena beliau telah mengambil barang titipan itu dan membawanya turun. Mau gak mau aku pun mengikuti langkah kakinya dengan penuh tanda tanya. Rasanya tidak mungkin aku berteriak dan lari karena aku sendiri tidak tahu di mana aku berada. Jika aku berteriak maka apa yang mesti aku teriakkan, karena sejauh ini bapak setengah baya itu tidak menjahatiku. Akhirnya ku hanya bisa mengikuti beliau sambil mencermati setiap ruas jalan raya di sekitarku.
Diantara riuh rendah kebisingan lalu lintas kota Jakarta saat itu, bapak setengah baya itu mengatakan bahwa pangkalan bus sinar jaya berada tak jauh dari tempat kami berdiri. Akupun menoleh mengikuti arah telunjuk tangannya yang menunjuk ke arah jalan sepi di ujung jalan. Selanjutnya aku segera mengikuti bapak setengah baya itu menyeberangi kawasan jalan raya yang cukup lebar. "Maaf pak, biar saya bawa sendiri, ini punya temen saya." kataku mencoba meminta barang yang di bawanya. Namun beliau tidak memberikan barang titipan temenku itu. Terpaksa akupun terus mengikutinya. Kini kami telah berada di jalan raya yang sepi, di kanan kiri jalan di penuhi pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Hatiku semakin was-was, mau di bawa kemana aku ini. Semakin berkecamuk perasaan dalam dadaku. Pikiranku mulai di hantui perasaan curiga yang berlebihan. Namun aku masih tetap pura-pura tenang, melangkah mengikuti langkahnya menyusuri sepinya jalan raya.
Dari kejauhan nampak seorang laki-laki mondar-mandir di tepian jalan, hatiku berdebar-debar tak karuan, jangan-jangan itu teman bapak ini. Kecemasan mulai hinggap memenuhi otakku. Tak henti-hentinya aku berdo'a memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Kalau bukan karena barang titipan temanku di bawa bapak itu, aku gak akan ngikuti langkah kakinya, pasti aku sudah ambil langkah seribu. Yang aku syukuri saat itu adalah aku tidak memakai rok. Yah... untungnya aku pakai celana jeans dan sepatu sport. Sehingga memudahkan bagiku jika nanti terpaksa harus berkelahi melawannya lalu lari sejauh-jauhnya. Sampai detik itu aku masih mencoba untuk bersikap tenang. Sambil terus mengikuti bapak itu aku memutar otakku, mencoba mencari jalan keluar seandainya terjadi hal-hal yang mungkin membahayakan keselamatan diriku.
Setidaknya hatiku cukup tenang karena aku punya sedikit bekal ilmu bela diri yang pernah ku pelajari sewaktu sekolah di tingkat SMP. Mau gak mau mungkin harus ku praktekan. Walau aku tahu aku belum tentu menang jika harus adu otot dengan pria dewasa berbadan kekar itu. Saat itulah tiba-tiba saja aku ingat nasehat dari seorang guru tata negara saat ku masih sekolah di SMA katholik. Bagaimana melumpuhkan lawan yang berbadan kekar sekalipun hanya dengan menggunakan satu ibu jari. Tanpa sadar akupun tersenyum sendiri, ketenangan batin mulai menyelinap di benakku. Dalam hati aku mulai bicara sendiri "biarin mati-mati, kalau gak aku yang mati ya lawan yang mati". Serasa menjadi orang terkejam saat itu. Kembali ku atur nafas sekedar tuk menenangkan dan mengontrol diri. Aku mulai menyusun strategi dalam otakku, dan tetap berusaha untuk bersikap tenang.
Jarak semakin dekat, dan akhirnya... "Alkhamdulillah..." pekik jerit hatiku mensyukuri kenyataan detik itu. Ternyata laki-laki yang mondar mandir itu bukanlah teman bapak setengah baya yang masih setia menenteng barang titipan sahabatku. Bapak setengah baya itu terus berjalan sambil tak henti-hentinya mengarang cerita seputar harta warisannya. Bosan aku mendengarnya, namun aku masih menunjukkan bahwa aku serius mendengarkan kisahnya, sambil manggut-manggut dan sesekali menampakkan wajah seolah aku merespon ceritanya. Akhirnya setelah melewati jalan raya yang sepi dan cukup panjang itu, sampailah kami di sebuah wartel dekat gerbang pangkalan sinar jaya. Ada binar indah di mataku begitu mengetahui aku telah berada di tempat yang cukup strategis untuk lepas dari perhatian bapak setengah baya itu. Sesaat kemudian bapak setengah baya itu mengajakku masuk ke wartel tersebut dan memintaku untuk menunggu sebentar karena ia hendak menelfon familinya untuk memberitahukan bahwa ia telah bersama calon istrinya. Wuih... gila... bergidik hatiku, betapa pede-nya beliau, ngaca deh ngaca... gerutu ku dalam hati.
Akupun hanya mengangguk dengan polosnya, dan membiarkan beliau masuk ke ruang kecil untuk menelfon familinya. Tiba-tiba ada angin segar datang menyerang urat syarafku, ternyata bapak itu meninggalkan barang tititpan sahabatku tepat di dekat kakiku. Kesempatan ini pun tidak aku sia-siakan. Begitu ku lihat dia sedang sibuk menekan tombol telfon dan mulai menelfon dengan bisik-bisik. Segera ku angkat barang titipan sahabatku dan dengan santai melangkah menuju pintu keluar dari wartel itu. Sesampainya di luar wartel, aku segera ambil langkah seribu. Lari...........
Aku segera berlari menuju kios pedagang asongan dan bertanya di mana aku bisa mendapatkan tiket bus sinar jaya. Pedagang asongan yang ku tanya segera menunjukkan loket penjualan ticket bus sinar jaya. Setelah itu aku segera berlari menuju loket penjualan tiket tersebut. Tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada, aku segera memesan ticket yang ku butuhkan dan segera merogoh kocekku lalu menyodorkan nominal uang sesuai harga ticket untuk satu kali perjalanan sampai ke terminal tujuanku. Ternyata bus tidak langsung berangkat, dan masih menunggu waktu sekitar 45 menitan. Namun aku tidak mau menunnggu di ruang tunggu, dengn setengah berlari aku segera mencari bus sesuai dengan nomor yang tertera pada ticket bus yang ada di tanganku. Tidak terlalu sulit untukku menemukan bus tersebut. Dengan cepat aku melompat ke dalam bus dan duduk di bagian paling belakang. Segera ku atur dudukku menirukan cara duduk seorang anak berandalan, yah... kedua kaki kunaikkan ke atas besi yang tepat berada di depanku, sementara badan dan kepalaku ku sandarkan lebih rendah dari kaca jendela. Sehingga tidak mungkin terlihat dari luar bus.
Kedua penumpang yang berada tak jauh di depanku menoleh ke arahku untuk sesaat. Dan aku tak peduli dengan tatapan keduanya, aku sibuk mengatur nafasku yang masih tersengal-sengal. Aku pun masih terus waspada dan terus berdo'a semoga bapak setengah baya tadi tidak menemukanku. Tak berapa lama kemudian beberapa penumpang sudah mulai memenuhi bus antar kota ini, dan akhirnya bus yang ku tumpangi inipun pelan-pelan melaju meninggalkan pangkalan sinar jaya itu.
Alkhamdulillah... selamat aku... Segera aku memperbaiki cara dudukku. Kini akupun bisa duduk dengan tenang. Kembali ku terbayang saat-saat mencemaskan sepanjang perjalanan siang tadi bersama bapak setengah baya itu, yang entah bernama siapa. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu akan kebenaran cerita bapak setengah baya itu. Dan aku juga tidak peduli apa niatan yang sebenarnya ada di kepala bapak setengah baya tadi. Tidak ada maksud untuk su'udzon kepadanya, aku hanya mencoba untuk waspada dan menjaga diri dari berbagai bahaya yang mungkin mengintai diri ini.
Satu hal yang pasti, aku tidak tertarik dengan uang imbalan yang di tawarkannya, aku terus mengikuti bapak tadi karena bapak tadi membawa barang titipan temanku. Apapun bentuk barang itu, barang itu adalah amanah yang harus ku sampaikan pada keluarga sahabatku.
***Ini adalah pengalaman ku sewaktu ku masih di PJTKI Kelapa Gading jakarta, dan hendak cuti ke Jawa ***
Dimanapun kita berada, pastikan agar selalu bersikap tenang agar kita bisa berfikir tuk mencari jalan keluar tanpa kekerasan. Karena belum tentu kita menang... ^_^
*Karya: Al-Khansa Khasanah Roudhotul Jannah*
No comments:
Post a Comment